Herry Mardianto
Persoalan yang selalu "mengundang perhatian", tumbuh dan berkembang di belahan negara manapun (termasuk Indonesia) adalah persoalan ideologi, nasionalisme, dan kebudayaan. Ketiga persoalan itu menjadi menarik karena tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik, dan ketiganya berada dalam dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Jauh sebelum polemik kebudayaan berlangsung antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, persoalan modernitas—tradisionalitas, Barat—Timur, sebenarnya telah muncul perdebatan seru antara Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Soetatmo Soerjokoesoemo pada saat pembukaan Volksraad (Dewan Rakyat) awal tahun 1918, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa. Takashi Shiraisi menengarai perdebatan tersebut sebagai perdebatan dalam upaya mencari identitas antara nasionalisme Hindia (diwakili Tjipto Mangoenkoesoemo) dan nasionalisme Jawa (diwakili Soetatmo Soerjokoesoemo). Debat kedua priyayi itu diterbitkan pada tahun 1918 dalam bentuk selebaran berjudul "Javaansche of Indische Nationalisme". Soetatmo berpendapat jika suatu bangsa seharusnya dibangun atas landasan bahasa dan kebudayaan serta sejarah yang sama dari suku Jawa; dengan demikian nasionalisme Hindia sebenarnya tidak mempunyai landasan kebudayaan karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Secara ekstrim ia menyatakan bahwa nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa; sementara nasionalisme Hindia tidak lebih merupakan reaksi terhadap penjajahan Belanda atas Hindia‑‑oleh karena itu hanya nasionalisme Jawa yang memiliki landasan kuat, merupakan tempat bagi orang Jawa dalam membangun masyarakat politiknya di masa depan. Arah perkembangan kebudayaan Jawa telah ditentukan oleh sifat yang ada pada kebudayaan Jawa itu sendiri; dan tugas yang harus dilaksanakan masyarakat Jawa adalah membuat agar intisari kebudayaan Jawa berkembang melalui pendidikan moral dan budi pekerti. Sebaliknya, Tjipto Mangoenkoesoemo justru mengedepankan nasionalisme Hindia. Dalam pandangannya, kekurangan utama dalam wawasan Soetatmo ialah unsur perkembangan sejarah dunia‑‑orang Jawa seharusnya belajar dari pengalaman‑pengalaman sejarah orang Eropa. Zaman telah berubah dan dengan sendirinya orang Jawa ikut berubah. Untuk itu, peningkatan kesejahteraan merupakan langkah yang penting‑‑dengan demikian, orang Jawa harus belajar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa Soetatmo menganjurkan kebangkitan kembali kebudayaan Jawa sebagai satu‑satunya jalan keluar dari zaman edan. Kebangkitan kembali itu ditempuh dengan cara menghidupkan kembali hubungan kawula‑gusti. Sebaliknya, Tjipto melihat bahwa (dengan timbulnya pergerakan) zaman edan telah berakhir; evolusi dan pembebasan Jawa dapat terwujud hanya apabila rakyat dititisi jiwa satria sejati: keluhuran moral melalui perlawanan tanpa kompromi terhadap penindasan dan pemerasan Belanda beserta priyayi terhadap rakyat.
Polemik di atas dapat dipandang sebagai awal sejarah perkembangan intelektual Indonesia modern, mempunyai efek kuat terhadap munculnya perdebatan Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Hingga dasawarsa abad ke‑XX, perdebatan tersebut terus relevan dipresentasikan; misalnya dalam diskusi mengenai "Barat‑universal‑asing" versus apa yang diyakini sebagai "Timur‑lokal‑ pribumi/asli". Demikian pula setiap kali apa yang dipandang sebagai "kebudayaan nasional" atau "kepribadian bangsa" didiskusikan, maka munculah persoalan bagaimana menempatkan "kebudayaan lokal/kesukuan" dan "warisan masa lampau" dalam mengembangkan "kebudayaan nasional". Polemik kebudayaan tersebut mau tidak mau teraktualisasi dalam gagasan atau ide yang tertuang dalam karya sastra. Dalam tataran ini kita harus berpegang pada suatu hipotesis bahwa pembentukan kesusastraan merupakan pembangunan sebuah wilayah sastra yang di dalamnya para sastrawan dapat merealisasikan diri sebagai subjek yang bebas dan mandiri (bdk. Faruk, 1994:55). Dengan demikian, pembentukan kesusastraan Jawa (juga) berfungsi sebagai sarana bagi penyebaran gagasan mengenai dunia ideal di mana orang‑orang Jawa secara keseluruhan dapat merealisasikan dirinya dengan cara yang sama, bebas, dan mandiri.
Jauh sebelum polemik kebudayaan berlangsung antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, persoalan modernitas—tradisionalitas, Barat—Timur, sebenarnya telah muncul perdebatan seru antara Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Soetatmo Soerjokoesoemo pada saat pembukaan Volksraad (Dewan Rakyat) awal tahun 1918, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan dalam Kongres Pengembangan Kebudayaan Jawa. Takashi Shiraisi menengarai perdebatan tersebut sebagai perdebatan dalam upaya mencari identitas antara nasionalisme Hindia (diwakili Tjipto Mangoenkoesoemo) dan nasionalisme Jawa (diwakili Soetatmo Soerjokoesoemo). Debat kedua priyayi itu diterbitkan pada tahun 1918 dalam bentuk selebaran berjudul "Javaansche of Indische Nationalisme". Soetatmo berpendapat jika suatu bangsa seharusnya dibangun atas landasan bahasa dan kebudayaan serta sejarah yang sama dari suku Jawa; dengan demikian nasionalisme Hindia sebenarnya tidak mempunyai landasan kebudayaan karena merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Secara ekstrim ia menyatakan bahwa nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa; sementara nasionalisme Hindia tidak lebih merupakan reaksi terhadap penjajahan Belanda atas Hindia‑‑oleh karena itu hanya nasionalisme Jawa yang memiliki landasan kuat, merupakan tempat bagi orang Jawa dalam membangun masyarakat politiknya di masa depan. Arah perkembangan kebudayaan Jawa telah ditentukan oleh sifat yang ada pada kebudayaan Jawa itu sendiri; dan tugas yang harus dilaksanakan masyarakat Jawa adalah membuat agar intisari kebudayaan Jawa berkembang melalui pendidikan moral dan budi pekerti. Sebaliknya, Tjipto Mangoenkoesoemo justru mengedepankan nasionalisme Hindia. Dalam pandangannya, kekurangan utama dalam wawasan Soetatmo ialah unsur perkembangan sejarah dunia‑‑orang Jawa seharusnya belajar dari pengalaman‑pengalaman sejarah orang Eropa. Zaman telah berubah dan dengan sendirinya orang Jawa ikut berubah. Untuk itu, peningkatan kesejahteraan merupakan langkah yang penting‑‑dengan demikian, orang Jawa harus belajar ilmu pengetahuan dan teknologi Barat.
Uraian di atas menggarisbawahi bahwa Soetatmo menganjurkan kebangkitan kembali kebudayaan Jawa sebagai satu‑satunya jalan keluar dari zaman edan. Kebangkitan kembali itu ditempuh dengan cara menghidupkan kembali hubungan kawula‑gusti. Sebaliknya, Tjipto melihat bahwa (dengan timbulnya pergerakan) zaman edan telah berakhir; evolusi dan pembebasan Jawa dapat terwujud hanya apabila rakyat dititisi jiwa satria sejati: keluhuran moral melalui perlawanan tanpa kompromi terhadap penindasan dan pemerasan Belanda beserta priyayi terhadap rakyat.
Polemik di atas dapat dipandang sebagai awal sejarah perkembangan intelektual Indonesia modern, mempunyai efek kuat terhadap munculnya perdebatan Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Hingga dasawarsa abad ke‑XX, perdebatan tersebut terus relevan dipresentasikan; misalnya dalam diskusi mengenai "Barat‑universal‑asing" versus apa yang diyakini sebagai "Timur‑lokal‑ pribumi/asli". Demikian pula setiap kali apa yang dipandang sebagai "kebudayaan nasional" atau "kepribadian bangsa" didiskusikan, maka munculah persoalan bagaimana menempatkan "kebudayaan lokal/kesukuan" dan "warisan masa lampau" dalam mengembangkan "kebudayaan nasional". Polemik kebudayaan tersebut mau tidak mau teraktualisasi dalam gagasan atau ide yang tertuang dalam karya sastra. Dalam tataran ini kita harus berpegang pada suatu hipotesis bahwa pembentukan kesusastraan merupakan pembangunan sebuah wilayah sastra yang di dalamnya para sastrawan dapat merealisasikan diri sebagai subjek yang bebas dan mandiri (bdk. Faruk, 1994:55). Dengan demikian, pembentukan kesusastraan Jawa (juga) berfungsi sebagai sarana bagi penyebaran gagasan mengenai dunia ideal di mana orang‑orang Jawa secara keseluruhan dapat merealisasikan dirinya dengan cara yang sama, bebas, dan mandiri.