Bukanlah hal berlebihan jika hampir sepuluh tahun silam Dorethea Rosa Herliany, penyair wanita kelahiran Magelang, mengemukakan pendapat bahwa untuk melihat sastra Indonesia modern secara strategis dapat dilakukan dengan mengamati perkembangan kesusastraan di Yogyakarta. Alasannya karena pertumbuhan kesastraan di Yogyakarta memiliki dinamika yang tidak kehabisan sisi menariknya: berbagai peristiwa dapat menjadi "intuisi" untuk iklim pertumbuhan kesenian, sastra Yogya tidak mengalami stagnasi; di samping banyaknya penerbitan karya sastra dalam bentuk buku sebagai kontribusi pengembangan peta kesusastraan Indonesia modern. Lepas dari gagasan Dorethea, kenyataannya persoalan dunia berkesenian di Yogyakarta sangat penting dibicarakan mengingat tidak seorang pun dapat menyangkal strategisnya posisi Yogyakarta dalam perkembangan dan pengembangan kesenian di Indonesia; munculnya sejumlah seniman dengan peran yang tidak dapat diabaikan—baik dari persoalan demokratisasi maupun penawaran konsep estetika berkesenian—dan dominasi kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan bersastra di luar Jakarta. Asumsi itu dapat dipahami karena produktifnya kota Yogyakarta melahirkan seniman dalam iklim pergaulan kepengarangan yang kondusif, kompetitif dan kental di kalangan para peminat seni/sastra. Nama besar Kuntowijoyo, Mangunwijaya, Umar Kayam, Rendra, Emha Ainun Nadjib (untuk menyebut beberapa nama) tidak dapat dilepaskan dari komunitas kehidupan kesenian (kesastraan) di Yogyakarta. Selebihnya, kota Yogyakarta menyediakan lahan subur yang relatif lebih istimewa dibandingkan dengan kota‑kota lain. Pemikiran‑pemikiran tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari sisi historis perkembangan karya seni di Yogyakarta yang menurut Sutrisno Kutoyo (1977:18) sudah ada sejak zaman neolitikum. Khusus seni sastra, sudah berkembang dengan baik sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V dengan lahirnya kesusastraan keraton. Situasi tersebut didukung oleh hadirnya kesusastraan Pura Pakualaman (Pangeran Notokusuma sebagai perintis) dengan nominasi karya Serat Darmowijarat karya KGPAA Paku Alam III. Ditambah lagi dengan pendirian sebuah universitas terbesar di Indonesia yang pada gilirannya menarik banyak generasi muda datang ke Yogyakarta, mendorong berdirinya lembaga‑lembaga pendidikan baru yang membuat Yogyakarta sebagai wilayah dengan potensi seniman dan intelektual muda yang cukup tangguh.
Selebihnya, hadirnya Umbu Landu Paranggi dan Suwarno Pragolapati, menghidupkan berbagai tradisi kesusastraan (kepenyairan) Yogyakarta, menciptakan tradisi saling asah serta memberikan banyak warna. Lepas dari nilai tambah itu, Umbu Landu Paranggi (seperti juga penilaian Korrie Layun Rampan dalam buku Suara Pancaran Sastra) bukanlah tokoh yang mengagumkan, karena karya‑karyanya lebih banyak disimpan di laci meja dari pada dipublikasikan. Ia bukanlah Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji, atau Sapardi Djoko Damono yang dianggap "terdepan" dalam penciptaan puisi. Umbu lebih terkedepan sebagai apresiator dan pemberi motivasi di kalangan ”sastrawan” cap Malioboronan. Jika kemudian ada gagasan puisi masuk desa, Umbu telah melakukannya dua langkah lebih maju dengan Persada Studi Klub di Yogya atau Sanggar Minum Kopi di Bali. Di sisi lain, hampir keseluruhan tadisi kepenyairan Yogya tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan Ragil Suwarno Pragolapati.
Dalam konteks perjalanan sastra Indonesia di Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi telah melakukan pekerjaan yang tidak mungkin dilakukan penyair (sastrawan) di Indonesia. Sejak tahun 1969 bersama Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra, Ipan Sugiyanto Sugito, Soeparno S. Adhy, Iman Budhi Santoso, dan Mugiyono Gito Warsono, ia memproklamirkan berdirinya Persada Studi Klub (PSK) yang bermarkas di mingguan Pelopor Yogya. Dalam mingguan tersebut, Umbu membuka rubrik sastra dan budaya dalam dua klasifikasi, yaitu "Persada" dan "Sabana". Para penulis pemula akan digodok dalam tataran "Persada" sampai akhirnya mereka mampu menembus tataran "Sabana". Para penyair kelas "Sabana" lazimnya dapat disejajarkan dengan para penyair yang menulis di majalah Horison dan Basis. Selain itu, atas prakarsa Umbu Landu Paranggi, secara berkesinambungan pada setiap hari Minggu di trotoar Malioboro diadakan acara apresiasi sastra, pembacaan puisi, dan mengeluarkan pernyataan‑pernyataan budaya yang layak diperhitungkan.
Berbicara mengenai Umbu Landu Paranggi tidak dapat dilepaskan dari cerita mengenai Ragil Suwarno Pragolapati. Alasan ini dikemukakan mengingat kedua tokoh tersebut sama‑sama berjasa dalam memberi warna hitam-putih bagi kehidupan sastra Indonesia di Yogyakarta. Tidak terlalu salah jika ada yang menilai bahwa sejak tahun 1965‑‑1990 dalam sejarah perkembangan kesastraan di Yogyakarta, Ragil Suwarno Pragolapati tidak pernah berhenti menjadi pembina para penulis muda di Yogyakarta. Hampir keseluruhan tadisi kepenyairan Yogya tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan Ragil Suwarno Pragolapati, seorang penyair kontroversial yang "raib" secara misterius ketika sedang melatih olah sastra lima orang muridnya di Bukit Semar, Parangendog, Parangtritis, Yogyakarta, pada 15 Oktober 1990. Pasca peristiwa yang mengejutkan berbagai pihak itu, banyak kalangan sastrawan (tidak hanya sebatas yang berada di Yogyakarta) bertanya‑tanya: siapa yang akan meneruskan berbagai tradisi kepenyairan Yogya (terutama yang berkaitan dengan pembinaan para penyair muda) yang sebelumnya banyak dimotori dan dipelihara oleh Ragil? Bahkan salah seorang redaktur sastra di sebuah harian terkemuka terbitan Jakarta menegaskan: tanpa Ragil, kegiatan sastra di Yogyakarta tidak akan menjadi ”gayeng” seperti sekarang ini. Meskipun demikian, tidak seperti kehadiran Umbu yang terus dinilai positif dalam menumbuhkembangkan kehidupan sastra, keberadaan Ragil tidak luput dari penilaian negatif karena kebiasaannya yang terlalu gampang melegitimasi penyair‑penyair pemula. Kemudahan yang diberikan Ragil disinyalir sebagai penyebab terjadinya inflasi penyair pada pertengahan akhir dasawarsa tahun 1980‑an di Yogyakarta. Asumsi terakhir ini hanya memiliki satu jawaban yang pasti: walahu a’lam bi shawab alias embuh aku ora ngerti! (Herry Mardianto, peminat sastra).
Selasa, 14 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar