Selasa, 21 Oktober 2008

Subkultur Etnik, Bahasa, dan Identitas Keindonesiaan


Herry Mardianto

Fenomena yang menarik dalam perkembangan karya sastra Indonesia adalah munculnya beberapa karya sastra yang berusaha mengedepankan subkultur berbagai budaya daerah sebagai elemen pembentuk cerita. Novel Siti Nur­baya (Marah Rusli, 1922) dan Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1921) berupaya mengangkat subkultur ranah Mi­nangkabau, novel Orang Buangan (Harijadi S. Hartowardoyo, 1971) dan novelet Sri Sumarah dan Bawuk (Umar Kayam, 1975) memperkenalkan budaya Jawa, Pulau (Aspar, 1976) menampilkan subkultur Bugis atau Makasar, Upacara (Korie Layun Rampan, 1978) menampilkan latar subkultur masyara­kat Kalimantan, dan Bila Malam Bertambah Malam (Putu Wijaya, 1971) mengedepankan subkultur Bali. Kemudian pada tahun 1983 Mangunwijaya mencoba mengangkat subkultur Ternate lewat novel Ikan‑Ikan Hiu, Ido, Homa. Upaya pengedepanan berbagai subkultur tersebut setidaknya membuktikan bahwa karya sastra mampu menunjukkan fungsinya yang khas, merefleksikan kehidupan sosial budaya dan mencerminkan pengaruh timbal balik antara faktor sosial dan kultural masyarakat dari wilayah tertentu (di Indone­sia). Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya mempertim­bangkan eksistensi sastra sebagai medium komunikasi budaya; di samping karya sastra harus dipelajari dalam konteks yang seluas‑luasnya, sebab karya sastra merupa­kan hasil pengaruh timbal‑balik yang rumit dari faktor‑faktor sosial dan kultural, sastra memaparkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Sistem nilai, adat kebiasaan, dan intuisi‑intuisi yang hidup dalam masyarakat dihayati oleh sastrawan dan diendapkan dalam dirinya untuk kemudian diungkapkan kembali lewat karya sastra yang memiliki spesifikasi estetik imajinatif.
Dalam menciptakan cerita rekaan, tentu saja pengarang asal Yogyakarta memiliki spesifikasi karena dunia ciptaan mereka memiliki wacana estetika yang dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Hal ini setidaknya tercermin dari pemilihan diksi dan atau pemanfaatan bahasa dan ungkapan, hadirnya tokoh, tema, dan latar cerita yang khas Jawa. Untuk memahami prosa lirik Pengakuan Pariyem, misalnya, ada semacam tuntutan bagi pembaca untuk memahami sedikit banyak ciri‑ciri formal bahasa dan latar belakang kema­syarakatan serta kebudayaan Jawa (cf. Djawanai, 1982:2). Penggunaan kata weton dalam prosa lirik ini tentu sudah diperhitungkan dengan matang oleh Linus Suryadi karena maknanya berbeda dengan jika ia menggunakan kosa kata hari lahir (dalam bahasa Indonesia). Kata weton berkaitan dengan hari pasaran yang selalu diperhitungkan orang Jawa untuk menentukan hari baik, jodoh, maupun nasib hidup manusia. Djawanai menjelaskan bahwa implikasi konsep weton sangat luas dan dalam bagi kehidupan budaya Jawa‑‑setidak‑tidaknya yang tradisional‑‑tidak saja menyangkut hal‑hal lahiriah tetapi lebih‑lebih lagi yang menyangkut persiapan batin dalam menjalani kehidupan lahiriah. Warna lokal Jawa dalam Pengakuan Pariyem di­perkuat oleh munculnya konsep‑konsep filosofis tradisional, seperti agama ageming ati (hlm. 15), madeg, mantep, madhep (hlm. 22), asih, asah, asuh (hlm.23), dan seba­gainya. Dalam Burung‑Burung Manyar (YB. Mangunwijaya, 1981), untuk menimbulkan kesan wingit dan angker, Mangu­nwijaya memilih menggunakan kata penunjuk waktu hari Selasa Kliwon. Bagi orang Jawa, hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon merupakan hari keramat. Orang Jawa memper­cayai bahwa pada saat itu banyak roh jahat berkeliaran. Di samping itu masyarakat Jawa percaya bahwa jika ada orang yang meninggal pada hari Selasa Kliwon maka mayatnya harus dijaga agar tidak "digondol" orang untuk menda­patkan ilmu hitam atau agar menjadi kaya (hlm. 118). Sama seperti Pengakuan Pariyem, karya Mangunwijaya juga menam­pilkan ungkapan‑ungkapan Jawa, seperti urip mung mampir ngombe, tresna marga kulino, dan sebagainya. Selebihnya latar lokal Jawa dalam Pengakuan Pariyem ditandai dengan penampilan Pariyem sebagai profil wanita Jawa tradisio‑ nal
Secara intrinsik (dalam konteks struktur karya), warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur latar, penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Tidak berlebihan jika Budi Darma (1988:20) melontarkan gagasan bahwa kecenderungan untuk menghayati subkultur etnik seperti yang diperjuang­kan oleh Umar Kayam, Linus Suryadi, dan sebagainya merupakan suatu usaha untuk memperkokoh identitas keindonesiaan, usaha untuk menghayati salah satu tradisi yang berpartisipasi dalam mewujudkan konsep (ke)budaya(an) Indonesia.

1 komentar:

Kritik Sastra mengatakan...

masalahnya, adakah kebudayaan nasional Indonesia itu. Apakah atau seperti apa bentuknya? Sebab, sampai kini pun debat untuk menunjukkan kebudayaan nasional masih belum final.